Senin, 21 Juni 2010

ARDIKA

Akhirnya aku selesai memindahkan barang-barangku ke kosan baruku. Dan mulai malam ini aku mulai meniduri kasur di kamar baruku. Kamar berukuran 3m x 4m diisi 2 orang. Ayu, teman sekamarku, sudah lama aku kenal karena dia teman satu kelasku.
Aku keluar kamar, bergabung dengan teman-teman kosku yang baru di depan TV. Perkenalan dan obrolan ringan sambil nonton TV terjadi, kebanyakan mereka bertanya tentang aku, maklum anak kos baru. Ada seorang cewek yang secara postur tidak terlalu berbeda denganku, agak pendek dan agak kurus, namun raut mukanya tampak lebih tua, dan kelihatan kurang ramah. Entah karena model wajahnya begitu ato karakternya yang sinis, membuat Aku berfikir berulang kali untuk bertanya dia angkatan berapa, umur berapa, rumahnya mana.. ato apalah.

Hingga suatu ketika, hanya aku dan dia yang berada di depan tv. Semua sudah beranjak tidur karena sudah jam 9 malam lebih.
“Kamu jurusan apa?”
“Matematika.”
“angkatan berapa?”
“2004.”
“sama donk ma ayu.”
“ya kebetulan kami satu kelas.” Jujur aku lupa namanya.
“kamu kok mau si kos di sini?”
“emang napa?”
“Kos sini image nya jelek lo di mata tetangga.”
“kok bisa?”
“Kamu tadi di depan ga liat banyak pasangan ngobrol di depan?”
“ya beberapa.”
“kos sini dikenal kosnya cewek ga bener ya semacam pel*c** lah, tiap malam pasti di depan banyak cowok apel, jadi beberapa pasangan pasti berjejer di depan. Itu lisa, anak D3 Akuntansi punya cowok lebih dari 2, hampir tiap malam diapeli cowok yang berbeda, aku bahkan pernah memergoki dia sedang berciuman dengan salah seorang cowoknya. Terus Mbak ita, selalu pulang malam, ga tau kerjanya apa, …”
Bla bla bla… dia menceritakan beberapa tingkah anak kosku yang baru ini. Glek, keder juga aku. Pikiran yang gak gak membawaku ke tempat tidur, membuatku agak gelisah.
Nama Lisa yang kemudian aku tau adalah anak semester 6, dan kenyataan yang ada dia memang berpacar dua. Kemudian mbak ita, wanita pekerja, entah aku belum jelas kerjanya apa, memang dia pergi kerja sore dan pulang entah jam berapa, setauku ketika pagi aku sudah mendapatinya tertidur di dalam kamarnya dengan baju tidurnya yang serba minim, ah biasa, Surabaya kan panas, toh sini juga kos khusus cewek, jadi pemandangan seperti itu sudah biasa.
Jujur aku memilih kos ini karena harga sewanya yang lumayan miring walo ga miring-miring banget, jalan masuk kos yang berbeda dengan rumah bu kos jadi untuk keluar masuk ga perlu melewati rumah bu kos, dan yang jelas bahwa setiap anak kos diberi kunci pagar dan kunci pintu sendiri-sendiri, jadi aktivitas kampus, kasih les privat dan organisasiku yang tak mengenal waktu tidak terkendala pada ‘batas jam malam’ seperti kosku yang lama. Ga masalah agak jauh tapi nyaman beraktivitas, itu yang aku fikirkan. Soal image seperti ini aku ga tau sama sekali, dan aku takut image ku pun jadi jelek. Semoga itu tidak benar.
Tapi bukan aku kalau percaya begitu saja pada hal yang belum aku saksikan sendiri buktinya dan aku bukanlah orang rumahan yang hanya bergaul dengan orang yang seatap saja. Kebiasaan memasak sendiri yang aku lakukan aku manfaatkan. Jika aku masak berarti aku harus belanja sayur, dan biasanya belanja pada tukang sayur keliling langganan warga kompleks. Dari situ otomatis aku akan ketemu beberapa tetangga yang sama-sama belanja sayur, dan alhamdulillah apa yang aku takutkan tidak benar. Mereka semua ramah ketika ngobrol denganku, mereka banyak bertanya tentang alamatku dan statusku di sini. Justru dari sini akhirnya aku tau pandangan sebenarnya masyarakat terhadap anak kos.
Sebenarnya masyarakat sangat welcome dengan kedatangan anak kos sebagai warga baru di lingkungan, bukan hanya anak sekosku, tapi anak kos secara umum. Namun kebanyakan anak kos tidak peduli pada tetangga padahal kondisi lingkungan sini masih seperti kampung, ikatan kekeluargaan antar warganya masih erat. Posisi anak kos yang sebagai ‘tamu’ di lingkungan ini harusnya menjaga sikapnya, termasuk soal ketika menerima tamu dan kebiasaan pulang malam mereka. Ya sepantasnya lah.
Alhamdulillah semua aku syukuri, dan tanpa aku jelaskan detail hanya dari obrolan-obrolan dengan tetangga itulah, mereka memaklumi aktivitasku yang mengakibatkan aku sering pulang larut malam bahkan dini hari. Mungkin mereka percaya dengan segala ucapanku karena aku selama ini berusaha untuk konsisten berkerudung dan bersikap sopan kepada mereka.
Kembali ke gadis berwajah tak ramah itu. Dua hari aku tak melihat sosoknya. Kudengar dia sedang mudik ke kampung halamannya sebuah kota yang berbatasan dengan Bali. Ketika ngobrol dengan teman-teman, tanpa sengaja kami mengobrolkannya. Aku yang memang belum tau banyak tentang dia dan tak berani bertanya langsung ma dia menjadi paling banyak bertanya. Namanya Ardika, anak semester 2 ternyata, sama ma aku, bedanya dia mengambil D2 aja. Banyak yang ga suka padanya karena memang dia selalu berprasangka buruk dan suka menjelek-jelekkan temannya. Dia juga suka bermuka manis di depan anak kos senior yang sudah bekerja, namun kalo di belakangnya sering mengatakan hal yang ga baik dan cenderung memfitnah. Sederhana saja, kalo di depan Mbak Lisa, dia dengan manisnya memanggil mbak, tapi kalo di belakangnya embel-embel mbak itu hilang bahkan cerita jelek-jelek tentang yang namanya lisa yang muncul. Na’udzubillah….
Senin pagi kudapati dia datang membawa ransel seolah dari luar kota. Dan fikiran positifku bilang, dia baru balik dari kampung halaman, soalnya aku juga begitu kalo balik dari mudik. Malam selanjutnya, ba’da isya’ dia tampak nenteng tas ranselnya yang kecil.
“Nanti kalau ada telpon nyari aku, bilang aku ngerjakan tugas kelompok di rumah temen, soalnya besok kudu jadi, jadi lembur…”
Semua hanya tersenyum. Tak ada ucapan terima kasih setelah menyampaikan pesannya, seolah dia berpesan kepada pembantunya. Teman-teman hanya mengangkat alis dan kembali mengalihkan pandangan ke tv. Kulihat lampu kamarnya mati, kemudian aku tau kebiasaanya kalau dia bepergian dan teman sekamarnya yang bekerja tidak ada (dan memang jarang ada di kos), maka lampu kamarnya pasti dimatikan.
Dan suatu malam jam 8 dia keluar dijemput temannya. Dia tidak berpesan apa-apa. Jam 10 an ada telpon dari seorang wanita. Aku yang mengangkat, karena kulihat kondisi kamarnya gelap aku bilang dia tidak di kos, keluar mengerjakan tugas mungkin bu, kataku. Dan paginya aku dapati kamarnya sudah terang, entah jam berapa dia pulang.
Beberapa kali kudapati seperti itu, dan akhirnya 2 hari tak kudapati dia lagi, mungkin dia mudik lagi. Telepon kembali berdering, ayu yang mengangkat. Wanita lagi mencari nama dika, ternyata itu ibunya.
Ayu kelihatan pucat, rupanya wanita itu marah-marah. Dia bilang ayu berbohong kalau dika ga da di kos. Dia maksa suruh ayu memanggil Ardika di dalam kamarnya yang gelap gulita. Tak ada sahutan, ganti aku yang memanggil ga da sahutan, aku juga tidak enak dengan tetangga malam-malam teriak-teriak.
Gemetar aku bilang ibu telepon aja hpnya. Si Ibu menjawab dengan nada keras kalau dika selalu mematikan ponselnya ketika tidur. Lalu si Ibu menutup teleponnya tanpa pamit. Tidak sopan!
Ketika ketemu dika aku menceritakan kejadian tadi, dika dengan entengnya bilang nginep di rumah temen. Tidak ada kata maaf karena perbuatannya ibunya bersikap seperti itu. Keterlaluan! Aku lihat perubahan pada fisik Ardika, dalam fikiranku muncul fikiran negatif, jangan-jangan Ardika hamil, dia kan belum menikah? Bibirku aku kunci rapat-rapat, takut itu hanya prasangka yang bisa menimbulkan fitnah. Hingga suatu hari ayu sepertinya tak kuasa membendung rasa penasarannya. Astaghfirullah, ternyata semua berfikiran sama denganku, dan kami sepakat menjadikan ini rahasia kami, jangan sampai bocor sampai luar kos, toh itu urusan dika.
Dika tidak banyak beraktivitas di luar rumah lagi, dia lebih banyak di kos. Kami teman sekosnya tak berani bertanya macam-macam, hanya saling pandang ketika melihat kebiasaan baru Ardika yang selalu pakai jaket dan memakai selimut padahal cuaca Surabaya sangat panas.
Hingga suatu saat tanpa sadar ketika Ardika terpaksa tidur di kamarku karena teman sekamarnya datang bersama saudaranya yang numpang tidur untuk semalam. Ketika terlelap kulihat selimut Ardika tersingkap, dan kudapati perut Ardika yang buncit. Astaghfirullah, seperti orang hamil 8-9 bulan…apakah…..?
Besoknya datang wanita separuh baya dengan wajah yang tak ramah juga, namun terlihat kegalauan di hatinya. Dan wanita itu ternyata ibuya Ardika. Dia berbincang-bincang dengan ibu kos, entah apa yang diperbincangkan.
Seminggu kemudian Ardika pamitan pulang ke rumah untuk waktu yang lama dengan alasan magang, jadi sementara ga kos di situ. Dan hampir dua bulan kemudian dia kembali dengan sifatnya seperti sedia kala, dan beraktivitas kuliah seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Ada yang beda dari fisiknya, perutnya sudah mengempis. Entah kemana isi perutnya dulu, sebuah penyakitkah ato sesosok makhluk??? Kami semua tidak tahu kebenarannya pastinya dan kami tidak ada yang berani menanyakannya. Biarkan Ardika dengan segala problemanya, kami tidak punya hak untuk mencampurinya toh sepertinya dia juga tidak butuh orang lain. Namun do’a kami, semoga Ardika dibukakan matanya untuk menghilangkan sifat buruknya dan semoga Allah memberinya yang terbaik.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Followers

Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template Vector by DaPino