Senin, 21 Juni 2010

SIAPAKAH DIA YA ALLAH

Seiring berjalannya waktu, Nuri menjadi menyadari, bahwa ia bukan remaja lagi. Pendidikan S1 selama 4 tahun, sudah dilalui, usianya tinggal menunggu hari menuju 25 tahun. waktu yang ideal untuk menikah, tapi dengan siapa? Sementara teman-teman seumurannya satu persatu sudah memberi kabar membahagiakan itu. Namun, Sampai saat ini belum ada yang nyantol maupun kecantol ma dirinya, hhehehe emang gantungan baju, kok nyantol????
Problem hati masalah laki-laki bukan tak pernah Nuri rasakan. Entah berkali-kali laki-laki singgah di hatinya, (perhatikan ‘di hatinya’, bukan pelukannya). Kalau didaftar ada sekitar 3 nama pernah singgah di hatinya. Dan semua nama itu singgah bukan karena kemenarikan fisik, kegombalan rayuan, manisnya senyuman, ataupun sorot mata yang mempesona. Ketiga nama itu hadir karena kesahajaannya, kesantunan dalam berucap, kearifannya dalam menghadapi masalah, mata yang selalu menunduk jika berhadapan dan bibir yang Nuri perhatikan tak henti-hentinya menyebut asma Allah.
Pertama, Iman, laki-laki kakak kelas, satu kota satu organisasi dengannya. Aktif di organisasi agama, cukup memberi nilai plus baginya dalam hal agama dan kesholehan. Dialah yang selalu memberinya spirit ketika dia hampir putus asa dalam menjalani masa skripsinya yang tak kunjung selesai, padahal teman-temannya telah mendapat izin untuk menjalani sidang. Nuri pun menjadi simpatik dan berniat unrtuk membaktikan hidupnya kepada laki-laki itu jika laki-laki itu memintanya. Namun ternyata Allah berkehendak lain, perasaannya bertepuk sebelah tangan. Ketika ia akhirnya berhasil menjalani sidang skripsi dan hendak menyampaikan kabar gembira itu, hadir sebuah undangan biru dari Iman.

Iman berlalu dan ia menjalani kehidupannya setelah lulus kuliah dengan masih nganggur sambil membantu orang tuanya menjaga rumah makan berhotspot. Costumer Nuri banyak santri pondok pesantren, dan diam-diam Nuri mengamati aktivitas mereka. Hingga akhirnya ia mendapati customernya seorang ustadz muda yang santun, kelihatan sekali dari wajahnya yang bersinar dia selalu menjaga wudlu, ah hampir semua santri pesantren seperti itu, tapi ada yang istimewa dari wajahnya, entah apa, Nuri sendiri gak tau apa. Dia seorang ‘ustadz’, Nuri bisa bilang bergitu karena hampir setiap santri yang bertemu dengannya memanggil ‘ustadz’, umumnya kalau seumuran mereka panggilnya ‘akhi’ atau bahasa anak muda ‘bro’. Dia selalu tersenyum pada Nuri setiap kali mata tak sengaja bertatapan, namun dia segera menundukkan tatapan membuat Nuri tersipu malu. Dia melakukan itu tidak pada Nuri saja, namun pada semua orang sebagai bentuk keramahannya. Hingga suatu hari ketika dia selesai membayar, namun dia tidak langsung beranjak pergi, masih menunggu temannya yang masih asyik berkutat dengan laptopnya. Nui memberinya tempat duduk dan laki-laki itu hanya mengangguk sopan sambil mengucapkan terima kasih.
“Anda asli mana?” entah ada keberanian dari mana Nuri bertanya.
“Saya asli Riau.”
“Sudah lama tinggal di Kota ini?”
“Alhamdulillah sudah 8 tahun lebih. Sekarang saya tinggal dengan istri saya di dekat pondok.” Katanya ringan.
Istri? Jadi pria muda itu sudah beristri. Ada sedikit kecewa di hatinya, namun kemudian dia tersenyum. Ah konyol sekali perasaannya itu, kenal juga belum dah menaruh simpati. Untung dia segera tahu kalau pria itu sudah beristri, kalo ketahuannya perasaannya sudah terlanjur dalam? Berabe punya nieh.
Ustadz muda itu berlalu, namun kejadian serupa terjadi lagi ketika Nuri bertemu senior kuliahnya dalam facebook. Karena sama-sama sering online, mereka jadi sering ngobrol. Jujur dari dulu ia mengagumi pria itu, sekedar kagum tidak lebih. Namun seiring berjalannya waktu, karena besarnya volume obrolan, maka kekaguman itu terasa lebih spesifik lagi. Ketika dia ultah, Nuri pun mengucapkan selamat ultah padanya.
“Happy Milad Akh…. 25 years old yeah?”
“Syukron ukh…”
“Eh akh, saya inget, antum kenal ustadz Abdullah? Usia 25 tahun dah nikah, padahal saat itu beliau secara financial masih belum siap. Bondo nekatlah kata orang. Antum tidak ingin mengikuti jejaknya?”
“Owh iya tah, ana malah belum tau. Lho anti juga belum tau tah, ana juga dah menikah 6 bulan yang lalu. Sekarang istri ana sedang hamil 5 bulan.”
Dag. Sudah menikah? Ah, Nuri kecewa lagee………..
Tiga kali sudah cinta tidak berpihak padanya. Hingga akhirnya suatu ketika, dia sedang berkumpul dengan komunitas dunia maya regional. Dalam acara itu, Antar anggota saling memperkenalkan diri, karena selama ini mereka hanya saling bersilaturahim lewat dunia maya dan jarang sekali mereka ada kesempatan ngumpul di darat. Jadi sering kali mereka kenal dan akrab di dunia maya, tapi mereka tidak saling kenal di dunia nyata.
Dalam acara itu Ada seorang pemuda yang biasa, ah sama sekali tidak berkesan di hati Nuri, yaiyalah kan baru pertama kali bertemu, mana dari awal acara sampai akhir acara ga da obrolan sama sekali di antara mereka. Namanya Dana. Dan kisah berawal dari situ.
Ternyata pemuda itu sudah menjadi temannya di facebook. Dan untuk pertama kalinya dia menyapa.
“Assalamu’alaikum ya Ukhti.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Kaifa Khaluki?”
“Bikhair, alhamdulillah. Wa antum?”
“Alhamdulillah sama. Sedang sibuk apa?”
“Biasa Online ajah, sambil browsing-browsing.”
“Anti kerja pa skul or kul?”
“Sudah kerja, anda?”
Rasanya belum pantas kalau Nuri menggunakan bahasa al-Qur’an itu dalam bercakap-cakap.
“Saya juga sudah kerja.”
Kami ngobrol, saling memperkenalkan identitas diri. Kebanyakan pria muda itu yang bertanya, dan Nuri hanya menjawab dan bertanya balik sebagaimana dirinya.
Kemudian terkisahkan, dia bekerja sebagai supervisor di sebuah perusahaan. Dia hanya pendidikan SMA, karena dulu tak ada biaya dan dia harus menghidupi ibunya yang menjanda. Dia tidak pernah menyantri di pondok pesantren namun dari kecil dia sudah tertarik untuk mendalami Islam. Ia memperdalam Islam secara autodidak, dari internet, buku, media massa ataupun pengajian-pengajian. Harus Nuri akui, pengetahuannya masalah agama sangat bagus. Kalau orang melihatnya, pasti mengira dia alumni pondok pesantren, mungkin ada yang mengira dia alumni ponpes sekaliber Gontor.
Beberapa kali mereka chat, dia asyik di ajak share, soal agama maupun segala sesuatu yang sedang booming sekarang. Pengetahuannya cukup luas, Nuri saja yang berpendidikan S-1 kalah. Tidak hanya chat, Pria itu kadang main ke tempat kerja Nuri. Hingga suatu hari,
“Pria seperti apa yang anti dambakan sebagai pendamping?”
“InsyaAllah yang sholeh, baik akidahnya, santun sikapnya.”
“Ehem…”
“Hampir semua muslimah selalu mendambakan hal itu kan? Jadi saya rasa itu tidak berlebihan.”
“Jika ada pria yang mengkhitbah anti, bagaimana sikap anti?”
“InsyaAllah kalo dia baik di mata Allah maka dia pasti baik di mata saya, dan tak ada alasan saya tidak menerimanya. Dan saya hidup di dunia karena ada nya orang tua, ridlallahu firidlo walidayni.”
“Na’am. Terus bagaimana criteria calon mantu orang tua anti?”
“Orang tua saya menyukai laki-laki yang selain baik secara agama, tapi juga baik secara pendidikan.”
“Maksudnya?”
“Yah, secara umum orang tua, ketika melihat putrinya selesai pendidikan sarjana tentu dia mendambakan laki-laki yang bersanding dengan putrinya memiliki pendidikan yang minimal sama dengan putrinya. Tapi orang tua saya lebih demokratis, pemikiran lebih terbuka, jadi kalo keadaan tidak sesuai harapan bukan berarti tertutup kemungkinan, hanya perlu penjelasan, pengertian dan pembuktian.”
Entah kenapa Nuri ingin jujur. Bukan maksud Nuri menjatuhkan Dana, tapi sebenarnya dia menambahkan bahwa ‘orang tuanya demokratis, pemikiran lebih terbuka’ adalah kalau Dana kalau memang serius berminat atas diri Nuri, dia bisa membuktikan bahwa dengan pendidikannya yang sebatas SMA dia bisa mempunyai pengetahuan sama atau lebih dari pria yang berpendidikan lebih tinggi, bahwa dia bisa sama atau bahkan lebih baik dari orang-orang yang berpendidikan tinggi.”
Jujur, hati Nuri sebenarnya sudah welcome kepada pria itu dan dia berharap kalau laki-laki itu mempunyai perasaan yang sama dengannya, dia bisa memperjuangkan dirinya. Tapi harapan tinggal harapan. Entah apakah ini ada hubungannya dengan kata-kata Nuri atau ada alasan yang lain, pria itu menjauh. Jangankan mengunjunginya, menyapa di facebook pun tidak pernah. Nuri tak berani berbuat apa-apa, dia kembali kecewa. Cukuplah ini pembuktian bahwa laki-laki itu tak berniat kuat untuk memperjuangkan dirinya yang berarti dia bukan yang terbaik baginya.
Nuri kembali sendiri, entah bayangan jodoh itu tampak masih jauh darinya. Entah kapan dia akan datang, huallahua’lam. Tapi Nuri tak bisa mengingkari, hatinya masih berharap dan penasaran siapakah pendamping hidupnya, orang jauh kah atau orang dekat, masih lama kah atau tiba-tiba yang terduga, Siapakah dia ya Allah?

0 komentar:

Posting Komentar

 

Followers

Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template Vector by DaPino