Senin, 25 Mei 2009

MENDAMBAKAN SEORANG IKHWAN


"Kapan nikah Mbak?" lagi-lagi Afif, adik angkatku itu menggodaku dengan pertanyaan itu. Ya ya, dia mempunyai seorang kakak kandung cewek yang seusiaku namun sudah menikah dan sekarang sudah dikarunia seorang putra yang lucu. Pantas dia sering menggodaku dengan pertanyaan itu.
"Doain secepatnya Fif. Sebenarnya pengin juga segera menuhin sunnah Rasul ini."
"Kata Mbak Ria, nikah itu enak lho Mbak...." kata Afif lagi, Ria adalah nama kakak kandungnya.
"Ya ya ya,...."
"Huahahaha...Mbak Eri pengin tuh...Jadi ngebet tuh..."
Aku hanya menjulurkan lidah saja ke dia. Dia ketawa menggodaku.
“Yah, doain aja ma Mas itu jadi ya? Hehehe…”
Aku pernah cerita ma Afif kalo ada seorang cowok kakak kelasku dulu yang sering menghubungiku.
“Amien.” Doa Afif tampak tulus dalam hati.

Namun sebelum Ramadlan datang, telah tiba suatu kabar yang membuat hatiku nyeri. Cowok yang aku harapkan dan membuat harapanku melambung tinggi itu memberi kabar kalau dirinya akan bersanding dengan wanita lain, seorang akhwat begitu dia bilang dengan bangganya. InsyaAllah habis Lebaran pernikahan sederhana akan digelar, katanya.
Seorang akhwat? Hmmmm tentu saja aku kalah jauh, aku aja masih hancur gini…batinku. Tidak salah memang dia memilih, tapi kenapa dulu ia begitu baik padaku? Kenapa ia sering menghubungiku? Hanya menganggap adikkah? Pantaskah? Apa aku begitu bodoh menyalahartikan kebaikannya padaku selama ini? Dia bukan apa-apaku, dia bukan kakak, bukan bapakku bukan saudaraku tapi dia memberi pehatiannya padaku, siapa wanita yang harapannya tidak melambung diperlakukan seperti itu?
Namun kemudian dia tanpa beban mengatakan bahwa dia memilih wanita lain untuk bersanding dengannya…..
Aku lemas seketika mendengar kabar itu. Dan Lagi-lagi Afif yang setia menemani dan menghiburku di Surabaya ini.
“Sudahlah Mbak. Hikmah yang bisa diambil simple aja toh mbak, bahwa mas Iman bukan jodoh mbak.”
“Ya, tapi perhatiannya itu selama ini….”
“Sssst sudah, itulah cobaan bagi orang beriman. Cinta adalah godaan Mbak, tinggal bagaimana kita menyingkapinya. Apalagi kalo cinta tidak berpihak pada kita. ”
Aku terdiam, ah Afif begitu bijaksana. Mungkin memang pergaulannya yang membuatnya bisa bicara seperti ini, entahlah kalau dia yang mengalami sendiri apakah dia akan bersikap seperti apa yang diucapkan atau tidak (ah, semoga dia tidak pernah mengalaminya). Tapi apa yang dikatakan itu bener dan tak ada salahnya aku renungi.
“Mbak kudu tabah, come on, sekalian untuk menguji mental mbak kok ni. Buktikan lek mbak ni gak lemah…Mosok Mbak Eri yang aku kenal lincah, cerewet, pejuang selama ini keok…” kata Afif sambil membalikkan jempol tangannya ke arah bawah.
“Jelek lu.” Aku memukul lembut kepalanya, tapi dia menghindar
“Ih Mbah Eri yang jelek weksss.” Dia menjulurkan lidah seperti biasa.
Ah, setidaknya ada Afif, yang bisa membuatku mampu tersenyum dan tertawa lagi, dia gak akan membiarkan aku sedih, apalagi jika berkepanjangan.

“Eh Mbak, masih banyak kok cowok yang juauh lebih baik dari Mas Iman.”
“Yayaya, aku tau…”
Aku seperti teringat sesuatu.
"Eh Fif, Cariin aku ikhwan aktivis temenmu duonk...."
"Lha?"
"Temen-temenmu dulu di Madiun kan banyak ikhwan aktivis, kenalin satu aja ke aku." kataku serius, Afif tau itu. Hanya saja dia gak nyangka aku bakal meminta itu padanya. Dan ia kelabakan menjawabnya...
"Kalo itu...sulit mbak. Kalo ma senior aku ga banyak kenal dekat, paling kakak sepupuku, itupun sudah nikah...tapi...."
"Kenapa?"
"Biasanya para aktivis itu akan mencari akhwat sesama aktivis. Mereka dah ada Murabbi nya sendiri mbak."
"Owh, jadi ga mungkin ya?" kataku lirih..
"Ato mbak ikut aja kegiatan mereka, mengikuti kajian-kajian mereka."
"Aku mengikuti kegiatan mereka untuk memperoleh seorang ikhwan? Ah, muna itu namanya Fif."
"Bukan Mbak, itu sebagai Sarana untuk perbaikan diri Mbak. Alhamdulillah kalo Allah benar-benar memberikan seorang Ikhwan untuk menjadi suami Mbak. Yang penting sekarang perbaikan diri Mbak dulu. Meningkatkan kualitas diri dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah melalui kegiatan-kegiatan itu."
Aku memandang takjub pada Afif. Ah, Remaja ini kadang pola pikirnya lebih dewasa dari umurnya, lebih dewasa dari aku yang lebih tua hampir lima tahun dari dia. Kalo saja dia lebih tua dari aku atau sudah siap menikah aku minta dia untuk menikahiku, hehehe...
“Tapi itulah Fif, aku ini orang yang sangat lemah. Kalo gak ada yang ngajak ke arah kebaikan itu jarang mau melakukannya. Aku masih rentan dengan godaan duniawi.”
“Mbak ikut aja kajian-kajian di kampus kan ada?”
“Aku sekarang jarang ke kampus, soalnya kan tinggal wisuda.”
“Eh Mbak minat bener tah ikut kajian-kajian tadi?”
“Boleh-boleh.”
“Bukan Cuma karena agar mendapatkan calon suami ikhwan to?”
“Hmmmm, insyaAllah mbak niatkan memperbaiki kualitas diri.”
“Amin. Kakak sepupuku mempunyai link-link orang-orang yang mengurusi kajian-kajian seperti itu. Kalo mbak mau insyaAllah aku telpon masku, nanti biar masku itu bisa ngasih semacam surat rekomendasi atau surat pemberitahuan ke mereka bahwa ada member baru, biar mbak nanti ga merasa asing ketika pertama ikut kajian-kajian itu. InsyaAllah mereka welcome kok ma new member, bahkan mereka akan membimbing dan memberi tahu apa yang mbak belum tahu dengan senang hati.”
“Tapi aku gak tau setelah lulus nanti bertahan di Surabaya atau pulang ke kampung halaman.”
“Gampang, masku punya link di mana-mana kok…”
Aku tersenyum, “Sip.”

Namun kemudian Afif mulai masuk kuliah, dia mulai sibuk dengan tugas-tugasnya, kami jadi jarang berhubungan. Awal masuk dia masih sempat main ke kosku,
“Maaf mbak, lom sempat ngubungin kakakku, lagi sibuk nih aku. Masak hari pertama masuk kul dah dikasih tugas….”
Hanya itu. Kunjungan yang singkat sehingga kami hanya sempat ngobrol dikit dan dengan alasan mengeerjakan tugas dia pamit. Sejak itu Afif jadi jarang sekali bertemu dengan aku, tapi masih kadang telepon atau sms.
Dan semakin lama, aku kehilangan sosok Afif. Kudengar kabar terakhir dia kerja sosial di sebuah yayasan sosial mengajar anak nelayan, selain itu dia juga kerja sampingan, dan dia menghilang. Pun saat wisudaku dia tidak bisa datang dengan alas an karena semalam mengerjakan tugas dan siangnya ada kuliah. Aku berusaha mengerti keadaannya ditambah dengan fisiknya yang lemah.
*
Malam itu habis Lebaran dua hari menjelang wisudaku, seorang temanku seperjuangan masa PPL (praktek mengajar) dulu memberi tahu bahwa ada acara ngumpul reunion sekaligus perpisahan teman-teman PPL di Surabaya. Maklum satu semester lebih kami gak ngumpul dan sebentar lagi sebagian dari kami akan wisuda, yang entah selanjutnya akan kembali ke kampong halaman atau bertahan di Surabaya.
Di sana kami ngumpul lagi, 18 orang dulu teman seperjuangan dari berbagai jurusan dan berbagai fakultas. 10 cewek dan 8 cowok. Aku banyak ngobrol dengan Agnes, gadis paling cantik dari kelompok ini:
“Gimana kabar Afif?”
“Wah, dia sibuk ma Kuliahnya, kami jarang ketemu sekarang.”
“Wo…, salam aja kalo ketemu dia.”
“InsyaAllah aku sampaikan.”
“Eh, kamu masih inget Pak Iman salah seorang guru di SMADA dulu?”
“Hm???” aku mencoba mengingat-ingat
“Yang dulu promosiin saudaranya yang lagi cari calon istri.”
“Owh.”
Aku jadi inget, ketika PPL di SMADA dulu, ada seorang Guru laki-laki bernama Pak Imam mengatakan bahwa dia memiliki seorang saudara laki-laki di Madiun. Dia seorang ikhwan aktivis, baik agamanya. Dia sedang mencari seorang calon istri, yang sholehah atau bisa diajak ke arah kebaikan, sabar dan pengertian. Beliau meminta biodata beserta foto-foto para mahasiswi PPL. Kata beliau akan disampaikan kepada saudaranya, siapa tau ada yang dia minati. Hm…bukannya orang seperti ini yang aku cari, hik hik…
Namun besoknya beliau tidak pernah membahas itu lagi, apa yang dikatakan beliau kemarin seakan hilang tanpa bekas terbawa angin. Ah, aku mah gak terlalu mikirin. Aku mungkin gak akan ingat kejadian itu kalo Agnes tidak mengatakannya.
“Emangnya napa ma beliau?”
“Ya ga pa-pa ma beliau. Aku dulu lom cerita ya? Beliau minta foto ma biodataku buat adiknya yang ikhwan itu. Aku ga enak, ya wez aku kasih. Cowok itu kemudian menghubungiku, sms maupun telpon. Sampe sekarang.”
“Owh….”
“Kamu dah ketemu orangnya?”
“Belum, dia-nya masih sibuk kerja, akunya juga ngerjain skripsi kan? Lagi pula aku sebenarnya lebih berat ke Nanang.”
Nanang itu cowok Agnes.
“Selama ini aku jarang balas smsnya. Aku jarang menghubunginya, tapi dia yang menghubungiku, sekedar tanyain kabar, ngingetin Sholat, sahur.”
“Weh????” ekspresiku dengan nada kagum, tiba-tiba ada iri menyelinap di hati.
“Kamu mau tah tak kenalin ke dia, bukannya kamu mencari orang seperti itu? Aku lihat dia baik Er, cocok seperti yang kamu cari.”
“Ah, kmu ni ada-ada saja Nes.”
“Aku serius, kamu mau tah? Tak kasih tau no kamu ke dia ya?”
“Ga usah, makasih. Dia menginginkanmu Nes, ‘perantara’nya juga menginginkan menghubungkan dia dengan kamu, bukan dengan aku.”
“Tapi aku dah ada Nanang, Yan. Dia sayang ma aku, begitupun aku. Kami dah jalan lama, dan aku ga ingin hubungan ini rusak gara-gara ada dia. Dia dah tak kasih tau kalo aku punya pacar, tapi masih saja menghubungiku.”
“Kamu dah dewasa kok Nes, wez bisa berfikir untuk menentukan sikap. Hanya, menurutku kamu sangat beruntung ada seorang ikhwan yang menginginkanmu. Sebenarnya kalo kamu bisa melihat ke depan, insyaAllah dia akan membawa kebaikan padamu.”
“Masa depanku dengan Nanang, Er.” Agnes tak mau kalah.
Ah Ukh, kalo aku jadi kamu, aku akan menerima dengan tangan terbuka kedatangan Sang Ikhwan.
Entahlah, apakah kelak aku mendapatkan seorang ikhwan yang aku inginkan. Apakah akan ada seorang ikhwan yang mau berdakwah untuk membimbingku menuju ridla-Mu, huAllahua’lam…. Aku hanya menjalani hidup apa adanya, berusaha memperbaiki diri walo usaha ini rasanya begitu lambat berjalan tanpa ada seorang yang menuntunku, karena aku begitu lemah…

0 komentar:

Posting Komentar

 

Followers

Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template Vector by DaPino