Sabtu, 11 Juli 2009

MBAK MURNI


Byuh, cintaaaaa cinta. Sampai sekarang aku gak habis ngerti, seberapa dahsyat se cinta itu? Cinta pada manusia maksudnya. Aku kadang merasa konyol dan tak habis fikir ketika mendengar ada orang bunuh diri gara-gara di tolak orang yang cintainya ato diputus orang yang dicintainya. Naudzubillah..... Juga ketika sahabat saya yang mengeluh karena cintanya kepada seorang laki-laki tidak mendapat restu dari orang tuanya. Dan pilus cinta ini telah melanda kakakku, Mbak Murni. Hanya saja menurut aku dan keluargaku, dia mencintai orang yang kurang tepat.

Mbak Murni memang beda dengan aku dan kakakku yang satunya. Bukannya bermaksud menghina, tapi secara tingkat intelektual, dia paling rendah di antara saudara-saudaranya, tapi ia mempunyai semangat mandiri paling besar dibanding dengan saudara-saudaranya. Mungkin karena itu dia tidak mempunyai semangat untuk menuntut ilmu sampai jenjang yang lebih tinggi, ia memilih bekerja dari pada sekolah. Ijazah D3 yang diterima itu saja berkat bujukan dan dorongan seluruh keluarga. Secara fisik, dia memang lebih cantik dan manis dari pada aku, tapi kulitku lebih putih dari dia, apalagi aku selalu menutupinya. Banyak cowok yang menyukainya. Soal pendidikan agama, dia paling kenyang dibandingkan aku dan kakakku yang satunya. Ketika SD, dia sudah ikut grup ngaji cikal bakal TPA di mana kemudian aku gabung, jadi ia mengenal dan bisa membaca AL-Qur’an jauh sebelum aku. Ketika SD ia sering diikutkan pondok pesantren kilat, tiap liburan. Sekolah SMA di skul yang ber-basic agama. Bahkan kerja pun dia di sebuah yayasan agama. Tapi entahlah ilmu agama yang di perolehnya seolah sama sekalli tidak merasuk ke dalam jiwanya.
Mbak Murni memang orang yang ramah atau orang jawa bilang ‘grapyak’, sehingga banyak orang menyukainya, baik dari golongan ekonomi atas, menengah maupun bawah. Semua orang seolah mencintainya.
Dan semua orang juga terkejut dengan keputusan Mbak Murni untuk menikah dengan Hadi, seorang pemuda yang gak jelas masa depannya, gak jelas martabatnya. Orang tuakupun sebenarnya sangat tidak setuju dan menentang keras hubungan itu. Ah, sebenarnya bukan hanya karena masa depannya yang gak jelas itu lah yang membuat keluargaku terutama ayahku gak setuju. Kami mengenal Hadi, bahkan sangat mengenal. Dia orang yang sering main ke rumah, kami kenal dia sebagai teman mas Anto, dan dia kenal mbak Murni juga biasa saja, gak terlalu dekat, itu yang kami tau. Dan kami, dibiarkan bergaul dengannya oleh orang tua kami, sebatas bergaul, tidak lebih. Orang tua sudah menganggap kami cukup dewasa dan mampu menjaga diri, sehingga memperbolehkan kami bergaul dengan sapa saja.
Hadi yang kami kenal, cowok luntang-luntung, seolah tidak punya cita-cita, seolah tidak mempunyai masa depan. Agama ‘nol’ itulah yang kami tau. Jangankan mengaji, untuk Sholat Fardlu saja, kami hampir tak pernah tau, seolah dia tak pernah melaksanakannya. Padahal harapan ayah, dia mendambakan seorang menantu yang baik secara agama, agar bisa membimbing anak keduanya itu agar semakin dekat dengan sang-Khalik. Soal pendidikan juga payah, yang aku tau dia hanya lulus SMP dan tidak melanjutkan sekolah. Soal kerjaan, ayah mempunyai beberapa usaha yang mungkin bisa di serahkan kepengurusananya kepada menantunya, jadi tak terlalu bermasalah.
Jujur, di antara sekian banyak teman-teman Mas Anto maupun Mbak Murni yang aku kenal, Hadilah orang yang paling tidak aku sukai. Tampan memang parasnya, tapi akhlaknya tidak senada dengan parasnya. Aku lebih suka Nurman yang secara fisik biasa, namun halus dan sopan orangnya serta ramah pada siapa saja ato yang lainnya.
“Nduk, lupakan Hadi. Cari laki-laki yang lain, yang lebih baik dari Hadi.” Bujuk ibu suatu hari.
“Tidak Bu, aku dan Hadi dah janji akan hidup bersama selamanya. Aku hanya mau menikah dengannya, Bu!” bantah Mbak Murni membuat ibu semakin terenyuh.
“Tapi apa nduk yang kamu harapkan dari Hadi?”
“Bu, kami dah saling suka. Aku sudah mengenalnya betul...”
“Namanya orang menikah itu tidak hanya modal cinta saja, Nduk...”
“Sudah Bu, pokoknya aku hanya mau menikah dengan Hadi. Selama ini aku ga pernah meminta macam-macam kepada bapak dan ibu. Hanya ini saja, tolong bapak ibu restui.”
“Tapi Nduk...”
“Sudah Bu, pokoknya aku hanya mau menikah dengan Hadi. Itu saja bu!” jawab mbak Murni sambil meninggalkan ibu masuk kamarnya.

“Tidak nduk, ibu tetap tidak setuju kalo kamu nikah dengan Hadi. Sampai kapanpun ibu gak akan ridlo.” ibu kokoh pada pendiriannya.
Sejak diketahuinya hubungan Mbak Murni dan Hadi, dan kekerasan kepala mbak Murno, Ibu jadi selalu memantau kegiatan mbak Murni. Ibu hanya mengizinkan mbak murni keluar untuk bekerja saja, itu pun ibu selalu memantau keberadaan mbak Murni. Ibu tak pernah mengizinkan mbak Murni ketemu dengan Hadi. Jika mbak Murni ketahuan pergi bertemu dengan Hadi, maka ayah, ibu, maupun mas anto tak segan-segan menyeret mbak Murni pulang, ya gak terlalu kasar lah, tapi maksa. Dan parahnya, gak ada pembelaan sama sekali dari Hadi. Dia hanya pasrah ketika mbak murni di bawa oleh keluargaku. Ibu juga menyita hp mbak Ningrum.
Aku mendukung keluargaku. Kalo aku pikir laki-laki macam apa Hadi itu. Kalo dia memang gentle dan berniat baik untuk menikahi mbak Murni, seharusnya dia datang baik-baik ke keluarga, melamar mbak Murni dengan resiko apapun. Tapi sama sekali tidak ada tindakan dari dia.
Sore itu Mbak Murni pergi melebihi jam biasanya. Di tempat kerjanya sudah tidak ada. Di rumah seorang teman yang biasanya menjadi tempat Mbak Murni main itu juga tidak ada. Di tunggu sampai malam juga gak datang-datang. Keluargaku panik bukan main. Kami seharian berbagi tugas mencari ke tempat-tempat biasanya Mbak murni berada, teman, saudara semua sudah di cari. Hasilnya nihil. Orang tuaku mencari ke rumah Hadi, dan Hadi hanya menunduk mengatakan kalau Mbak Murni gak ada. Keluarga ku tak bisa memaksa untuk menggeledah seluruh rumah Hadi. Kami masih mempunyai etika dan sopan santun, apalagi kami hidup dalam lingkungan pedesaan. Kami masih yakin bahwa mbak Murni memang sengaja kabur, beberapa pakaiannya sudah tidak ada. Dan kalo dipikir, mbak Murni gak akan sebodoh itu bersembunyi di rumah Hadi.
Besok siangnya Mbak Murni telepon rumah, mengabarkan dia baik-baik saja. Dia berada di suatu tempat yang sangat jauh dari rumah dan keluarga tidak usah mencarinya. Tapi keluarga tetap memintanya pulang, terus merayunya. Hingga mungkin mbak murni bosen dan menutup telepon tanpa pamit. Kami mengira-ngira di mana mbak Murni sekarang? Di mana dia meletakkan motornya yang biasa dia bawa kerja. Mungkin kalau ketemu bisa untuk petunjuk dimanakah Mbak Murni berada.
Besoknya Mbak Murni telepon lagi
“Pak, aku akan pulang jika bapak sudah mendaftarkan pernikahanku dengan Hadi di KUA.”
“Ya dah, bapak janji, pulanglah dulu, baru nanti bapak daftarkan. Keluarga sudah kangen nduk, pulanglah...!” jawab bapak waktu itu.
“Tidak bapak, pokoknya aku akan pulang pas di hari aku dinikahkan dengan Hadi.”
Mbak Murni memang keras kepala. Dan akhirnya demi menuruti putrinya yang satu ini, bapak benar-benar mendaftarkan pernikahan Mbak Murni dan Hadi.
Dah tepat di hari terjadwalnya pernikahan, Mbak Murni datang ke KUA dengan Hadi dan seluruh keluarga Hadi. Mbak Murni datang dengan make up dan kebaya, seolah semua sudah terencana baik-baik olehnya. Sementara dari pihak keluargaku hanya bapak dan paman yang mendampingi ayah, Mas Anto memilih tetap masuk kerja. Aku gak tau bagaimana keadaan ketika akad nikah itu terjadi. Aku hanya menebak penuh keharuan.....
Aku dan keluarga di rumah sibuk memasak untuk syukuran pernikahan mbak murni. Ah, pantaskah ini disebut syukuran???? Padahal saat itu hati Ibu remuk redam, bukan hanya ibu, tapi bapak, Mas Anto dan juga aku, dan mungkin juga orang-orang yang menyayangi Mbak Murni.
Sepulang dari KUA semua rombongan menuju ke rumahku. Bapak dan paman dalam mobil tersendiri, sedang Mbak Murni dan Hadi bersama rombongan keluarganya. Dapat ditebak, betapa harunya suasana saat itu, ketika rombongan itu datang. Aku dengar ibu menangis tersedu-sedu ketika Mbak Murni menyalami ibu dan mencium tangan ibu serta meminta doa restu dan maaf. Nenek yang sangat menyayangi cucu satunya ini juga menangis tersedu-sedu. Seluruh undangan yang mengetahui kejadian sebenarnya juga ikut menitikkan air mata, dan aku? Aku malah lari masuk kamar, menghempaskan tubuhku ke kasur. Aku menangis sejadi-jadinya. Jujur aku rindu berat pada Mbak Murni, tapi aku belum bisa menerima kenyataan ini sama sekali. Aku gak sekuat ibu yang mencoba tegar menghadapi masalah itu walau dengan tangis yang menderai, dan bapak yang begitu kuat menahan tangis saat itu. Padahal aku tau bahwa hati mereka remuk redam, aku tau beberapa hari sebelumnya mereka begitu bersedih, dan mereka hampir tak pernah terlihat makan.
Malamnya acara syukuran di laksanakan, syukuran itu sebagai sarana untuk mempublikasikan kepada masyarakat sekitar bahwa anak perempuan bapak, Mbak Murni sekarang telah sah menjadi istri Hadi. Tapi malam itu Mbak Murni dan Hadi tidak datang pada acara syukuran, entah apa sebabnya.
Ibu lebih banyak diam dan berusaha menahan tangis. Dan aku lemah tidak bisa menghiburnya. Bapak dan Mas Anto tampak begitu tegar ketika menghadapi tamu-tamu yang datang. Dalam hatiku penuh dengan beribu-ribu doa, untukku sendiri, keluargaku dan Mbak Murni.
Ya Allah, berilah kelapangan dan ketabahan hati hamba menerima segala kenyataan dan cobaan yang Engkau berikan. Ikhlaskan hamba menerima kenyataan ini walau pahit adanya. Bukakanlah pintu hati hamba untuk menerima Hadi sebagai bagian dari keluargaku. Jadikan ini pelajaran bagiku juga untuk semakin mendekatkan diri pada Mu ya Allah, mendasari hati hamba dengan cinta kepada-Mu, agar sedahsyatnya cinta dunia melanda, maka aku masih punya pegangan Engkau.
Ya Allah, berikanlah kekuatan kepada keluargaku. Berilah kelapangan kami menerima setiap cobaan yang melanda.
Ya Allah, berilah petunjuk dan bimbingan kedua mempelai, agar mereka semakin mendekat pada-Mu. Jadikanlah pernikahan mereka sebagai sarana perbaikan diri dan latihan tanggung jawab mereka. Jadikanlah keluarga mereka keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, menghasilkan keturunan yang shaleh dan shalehah yang kelak akan meringankan dosa mereka jika kelak mereka kembali ke Hadirat-Mu.
Amin.

10 komentar:

azarre on 18 Juli 2009 pukul 02.34 mengatakan...

Hello mbak... salam kenal...
Cinta itu sulit untuk di definisikan... tapi bisa di pilah2 mana cinta yang seharusnya dan tidak seharusnya... Mana yang wajar dan mana yang melampaui batas... dan lain lain.... hehee... :sok ngerti saya nih: :D

jidat on 22 Juli 2009 pukul 04.51 mengatakan...

hiiii.. setuju mas azzarree
emang begitu.. hee apa komentarku dianggap spam?

abeng beng /arjopedal on 22 Juli 2009 pukul 09.04 mengatakan...

wo begitulah kehidupan. cinta dan kebencian saling megisi
dimana manusia dapat memilih dari sisi mana dia memandang dan menilai makna cinta.............

slam kenal

riffrizz on 29 Juli 2009 pukul 05.43 mengatakan...

kehidupan, yah memang berjalan sedemikian rupa, cinta, derita, anugrah, dan kawan kawan berjalan mengiringinya

cah ndueso on 1 Agustus 2009 pukul 03.25 mengatakan...

KIRIM KE ANIDDA JAH...

cah ndueso on 6 Agustus 2009 pukul 06.24 mengatakan...

mana kisah yang laennya?

ririsnovie on 1 September 2009 pukul 04.13 mengatakan...

hemm,.sungguh mengharukan,.semoga kita selalu dalam naunganNya yang bisa menempatkan cinta sebagaimana mestinya,..

Rusli Zainal sang Visioner on 4 September 2009 pukul 02.07 mengatakan...

subhanallah... inikah yang disebut cinta? mengalahkan segalanya. mengalahkan akal sehat, mengalahkan titah, dsb. sabar ya mbag, kita tidak pernah tau apa rahasia ALLAH dibalik semua ini. dia tentu punya maksud tersendiri. semoga kelak menjadi kelurga yang benar2 di ridhoi ALLAH SWT, amiinn (eros)

azaxs on 9 September 2009 pukul 01.01 mengatakan...

hmm..aku sangat menikmatinya mbak... nice story.. :)

Hamster Copo on 12 September 2009 pukul 20.19 mengatakan...

yaa moga saja mbaknya mbak *halaah repot ribet nyebutnya* bisa menjadi keluarga sakinah,,mawaddah wa rohmah amiin

Dan cerita diataas menjadi pelajaran bagi kita semua

Posting Komentar

 

Followers

Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template Vector by DaPino