Jumat, 06 Mei 2011

LAKI-LAKI IDAMAN AYAH

“Ada yang kosong mbak?”
Seorang lelaki muda, berusia kurang lebih 27 tahun membuyarkan keasyikanku ber-chat ria dengan temanku.

“Oh maaf, penuh Mas, kalau mau silahkan tunggu.” Kataku tersenyum ramah setelah melihat program Billing di komputerku.

“Oh ya, saya tunggu aja…”

Alhamdulillah…seruku dalam hati, costumer setia. Sebenarnya ada warnet lain, tapi dia tetap setia bermain di warnetku.

Pria itu bukan yang pertama ke sini, sudah berkali-kali. Awalnya, aku tak pernah memperhatikan dia, maklum pelangganku banyak, dan berganti-ganti, jadi aku tidak sempat memperhatikan mereka satu persatu. Jika misalnya memberi perhatian pun, biasanya sekarang memperhatikan, tapi tak lama kemudian atau besok sudah lupa.
Berhubung dia berkali-kali ke sini, aku jadi sedikit memperhatikan. Entah dari mana aku menyimpulkan, tapi feelingku mengatakan dia alumni pondok pesantren. Ga tampan tapi berkharisma. Badannya tidak tegap atau atletis tapi pembawaannya tenang dan bersahaja. Bukan mataku jelalatan, tapi pastilah sengaja atau tidak aku memandangnya walau sekilas, dan dari caranya bicara yang sopan dan teratur.
Aku melihat keluar, Seorang cewek tampak kesulitan mengeluarkan motornya dari parkir, soalnya di belakangnya ada motor terparkir dan dikunci stang. Dengan sigap aku membantunya mengeluarkan motornya. Dan selanjutnya aku menata jajaran motor-motor di parkir warnet. Ini bukan pekerjaan asing bagiku, ketika aku masih kuliah di Surabaya dulu aku sering membantu tukang parkir di warnet aku bekerja. Dan itu sekarang juga menjadi kerjaan rutinku selain sebagai operator warnet.
Ketika akan kembali masuk warnet, aku menunduk menyapa pria tadi yang duduk di teras. Tiba-tiba pria itu mengeluarkan suara

“Yang punya warnet ini rumahnya Samo ya?” tanyanya sambil menyebut nama desaku.
“Benar mas”
“Putranya pak Kat…Kateno ya?”
“Pak Katemo mas,”
“oh iya benar…”
“anda kok tahu?”
“ya kenal aja, teman seperjuangan. Mbak sendiri di sini pegawai atau….?”
Aku tersenyum,
“saya adiknya pemilik warnet.”
“O, mbak putrinya Pak Katemo kalau begitu.”
“Iya benar”
“salam buat bapak, bilang dari Jaka Jatin.”
“InsyaAllah saya sampaikan…”
“oh ya, mbak namanya siapa?”
“Saya eri…”

Begitulah akhirnya kami kenalan, tanpa bersalaman tentunya. Tapi itu cukup membuatku Deg-deg ser…ups, astaghfirullah….
*
Sampai di rumah, ketika ketemu bapak, langsung aku sampaikan salam cowok tadi,
“Bapak, dapat salam dari Jaka, rumahnya Jatin.”
“Lho kok kenal?”
“dia pelanggan warnet yah.”
“weleeeeeeeeh, mau dikenalin kok wes kenalan dulu…” kata bapak sambil setengah ketawa menggodaku. Aku langsung ngeh, maklum usiaku sudah 24 tahun lebih, dan itu masa-masa ideal menikah, toh pendidikan S-1 ku juga udah kelar.
“Gimana menurutmu Er? Misalnya kamu aku jodohkan ma dia mau ga?”
Aku tersipu
“jangan tanya aku bapak, Tanya aja dia, mau ga ma aku….”
“dia laki-laki pinter, pendidikan S1 PAI di STAIN, dulu pernah mondok di Arrisalah. Bagus agamanya, teman pengajian bapak itu. Kalo berbicara di depan forum bagus, walo anak muda tapi bisa meladeni orang-orang tua seperti bapak, bapak suka.”
Hatiku semakin deg-degan…
“bapak dah minta tolong pak Jaenuri untuk mencari informasi tentang dia, pak Jaenuri lumayan kenal baik ma Jaka.”
Pak jaenuri adalah teman pengajian bapak juga.

Beberapa kali pertemuan di warnet, aku dan pria itu kadang ngobrol, tidak sering dan tidak lama hanya jika kebetulan posisi kami dekat, seperti pas dia minta tolong karena komputernya agak eror atau ketika dia datang dan membayar. Bahan obrolan pun ga Cuma iseng, biasanya soal pekerjaan. Sebagai lulusan S1 yang belum bekerja, aku sempat pusing. Berkali-kali memasukkan surat lamaran pekerjaan ke sekolah-sekolah tapi belum ada tanggapan. Dia menyarankan aku untuk memasukkan lamaran ke sebuah SD swasta berbasik Islam di mana dia mengajar saat ini, yang letaknya agak jauh dari rumahku. Aku pikir, bolehlah aku coba, daripada nganggur, walau sebenarnya spesifikasi pendidikanku kurang relevan untuk tingkat SD.

Belum sempat aku memasukkan lamaran ke tempat yang di maksud, sebuah telepon dari sebuah sekolah memberiku harapan. Sebuah SMK swasta, tak apalah. Walo ibu maunya aku ngajar di Sekolah negeri, ‘sukuan’lah istilahnya, karena prospeknya baik katanya. Aku mendatangi panggilan tes itu, dan akhirnya aku terima. Ketika pria itu datang kembali ke warnet, aku pun cerita soal kabar itu.
“alhamdulillah, bagus tuh mbak….” Katanya

Begitulah... dia tetap bersikap sopan padaku, santun bahasanya, dan pandangannya lebih banyak menunduk.
*
Beberapa hari kemudian ayah membawa kabar baru mengenai Jaka.
“Dia katanya anak pertama, adik-adiknya masih kecil.”
“terus bapak?”
“yaaaaaah, tau sendiri….”

Yah, aku tau sendiri bagaimana kondisi lingkunganku yang masih kolot. Masih percaya pada mitos-mitos yang ga syar’i. Mereka percaya mitos ‘lusan’, telu pisan, suatu mitos jawa di mana anak pertama atau anak yang menikah pertama dalam suatu keluarga tidak boleh menikah dengan anak ketiga atau anak yang menikah ketiga. Jika itu dilanggar katanya salah satu akan kalah, kalah dalam artian mendapat musibah, entah kecelakaan atau meninggal. Karena itu mereka menentang keras kalau ada pernikahan lusan.

Dan aku adalah anak ketiga dan menikah yang ketiga, kedua kakakku sudah menikah. Bukannya aku dan bapak percaya, tapi kami hanyalah bagian lingkungan yang sangat kecil, kami masih lemah untuk menentang tradisi-tradisi yang menyimpang dari syariat, walau bukan berarti kami ikut mempercayai. Terlihat raut kecewa di mata ayah,

Sikap pria itu kurasakan menjadi berubah padaku. Dulu dia kalau melihatku pasti menyapaku, walau saat itu aku bahkan tidak melihatnya, tapi kini dia pura-pura tidak melihatku ketika bertemu denganku, kecuali jika kita berhadapan atau aku menyapanya terlebih dahulu. Jika aku sedang jaga warnet, pas bayar biasanya dia sambil berkata sesuatu, namun kini dia hanya menyodorkan uang dan berlalu dengan ucapan terima kasih. Jika kondisi warnet penuh, dia pilih pergi dulu daripada ngantri. Aku merasa aneh, kenapa sikapnya berubah.

Suatu hari iseng di waktu senggang aku dan bapak ngobrol.
“kalo bapak pikir-pikir, kenapa kita harus takut pada mitos masyarakat tentang lusan, toh dalam Qur’an gak ada. Bapak suka dia, kamu juga kelihatannya juga mau dengan dia. Bapak terjang aja ya mitos itu, bapak akan minta pak Jaenuri untuk menyampaikan maksud bapak ke Jaka, gimana?” kata bapak
Aku tersipu. Sebenarnya aku berharap pria itu yang datang pada bapak untuk memintaku. Tapi bukankah untuk niat ibadah, cewek dulu yang maju ga masalah. Namun kemudian aku ingat sikapnya selama ini, aku kembali ragu.
“tapi bapak, sikapnya selama ini berubah pak ma aku.” aku ceritakan semua perubahan sikap yang aku rasakan dari diri Jaka padaku. Ternyata ayah juga merasakan hal yang sama.
“Iya, sama bapak juga gitu. Dulu di saat-saat senggang kajian, kita kadang ngobrol, tapi sekarang dia lebih banyak diam. Kita ngobrol kalau ada urusan penting aja.”
Aku tersenyum
“jangan-jangan keluarganya juga terbelit tradisi seperti kita, Ri?”
“mungkin Bapak.”
Bapak tersenyum padaku.
“Sabar ya nduk, bersabar untuk mendapat yang terbaik.”
*
Beberapa bulan kemudian bapak membawa kabar baru
“Ri, Jaka akan menikah.”
“Oh ya?” aku jadi teringat dengan sosok itu. Yah, aku hampir tidak pernah bertemu lagi dengan pria itu, maklum jadwal ngajarku yang mayan padat membuatku tidak sempat lagi jaga warnet, dan kakakku akhirnya menambah pegawai lagi. Tapi kadang aku masih jaga warnet jika ada operator yang tidak masuk, itupun tidak lama dan tidak setiap minggu.

“insyaAllah bulan depan.” Lanjut bapak.
“oh…”
Bapak tersenyum lagi
“kabarnya calon istrinya seorang asisten dosen yang sedang menyelesaikan S-2nya di Kediri.”
S-2? Walah aku kalah jauh…

Dan ketika hari pernikahan itu semakin dekat, bapak berkali-kali hanya tersenyum padaku ketika beradu pandang. Dari tatapan beliau, aku menangkap isyarat sebuah dukungan aku untuk bersabar dan untuk ikhlas…
Aku tidak dapat undangan walimatul’urs dari Jaka, hanya bapak. Sepulang dari acara pernikahan itu, kudapati cerita baru ayah yang cukup membuatku agak shock, bingung dan berbagai pikiran berkecamuk dalam otak,

“Tadi di pernikahannya Jaka ada laki-laki mirip dengan Jaka, membawa istri dan anak. Ketika pak Jaenuri bapak tanya, katanya itu kakak kandung Jaka…jadi artinya, Jaka bukan anak pertama.”
“Jadi berarti pak jaenuri bohong pada kita pak?”
“Sepertinya seperti itu…”
“apa maksudnya memberi kabar bohong seperti ini
“Bapak sendiri kurang tau, atau mungkin….”
Bapak sengaja tidak meneruskan ucapannya, tapi aku langsung tanggap…
“mungkin diam-diam pak Jaenuri sudah menyampaikan niat bapak ke Jaka, dan saat itu Jaka mungkin ternyata sudah mempunyai wanita idaman atau dekat dengan wanita lain. Dan akhirnya mereka sepakat berbohong untuk menolak niat bapak dengan dalih anak pertama biar terkesan LUSAN dan melanggar mitos?”
“bapak gak tau.” Kata bapak pelan, “sudah berfikir positif aja Ri, insyaAllah kamu akan mendapat laki-laki yang lebih baik”
“amin…”

Ini rencana Jaka kah? Tapi untuk apa dia harus berbohong, apalagi dengan cara memanfaatkan sesuatu yang ga syar’I, memanfaat mitos masyarakat. Bukankah lebih baik kalau dia jujur? Dan bukankah dia harusnya lebih tau bagaimana menolak niat bapak dengan baik. Tidak dengan cara ini. Bukankah memanfaatkan mitos itu berarti dia percaya dan mendorong orang lain untuk percaya dengan mitos itu dan tentu saja itu bertentangan dengan syari’at.

Ah setidaknya itu membuat kekagumanku akan sosok Jaka menjadi berkurang, bahkan hilang. Yah, thanks Allah, Engkau telah menunjukkan bahwa dia memang bukan terbaik untukku. Dan aku percaya Engkau akan memberiku laki-laki terbaik dalam hidupku.

---000---

Senin, 21 Juni 2010

ARDIKA

Akhirnya aku selesai memindahkan barang-barangku ke kosan baruku. Dan mulai malam ini aku mulai meniduri kasur di kamar baruku. Kamar berukuran 3m x 4m diisi 2 orang. Ayu, teman sekamarku, sudah lama aku kenal karena dia teman satu kelasku.
Aku keluar kamar, bergabung dengan teman-teman kosku yang baru di depan TV. Perkenalan dan obrolan ringan sambil nonton TV terjadi, kebanyakan mereka bertanya tentang aku, maklum anak kos baru. Ada seorang cewek yang secara postur tidak terlalu berbeda denganku, agak pendek dan agak kurus, namun raut mukanya tampak lebih tua, dan kelihatan kurang ramah. Entah karena model wajahnya begitu ato karakternya yang sinis, membuat Aku berfikir berulang kali untuk bertanya dia angkatan berapa, umur berapa, rumahnya mana.. ato apalah.

SIAPAKAH DIA YA ALLAH

Seiring berjalannya waktu, Nuri menjadi menyadari, bahwa ia bukan remaja lagi. Pendidikan S1 selama 4 tahun, sudah dilalui, usianya tinggal menunggu hari menuju 25 tahun. waktu yang ideal untuk menikah, tapi dengan siapa? Sementara teman-teman seumurannya satu persatu sudah memberi kabar membahagiakan itu. Namun, Sampai saat ini belum ada yang nyantol maupun kecantol ma dirinya, hhehehe emang gantungan baju, kok nyantol????
Problem hati masalah laki-laki bukan tak pernah Nuri rasakan. Entah berkali-kali laki-laki singgah di hatinya, (perhatikan ‘di hatinya’, bukan pelukannya). Kalau didaftar ada sekitar 3 nama pernah singgah di hatinya. Dan semua nama itu singgah bukan karena kemenarikan fisik, kegombalan rayuan, manisnya senyuman, ataupun sorot mata yang mempesona. Ketiga nama itu hadir karena kesahajaannya, kesantunan dalam berucap, kearifannya dalam menghadapi masalah, mata yang selalu menunduk jika berhadapan dan bibir yang Nuri perhatikan tak henti-hentinya menyebut asma Allah.
Pertama, Iman, laki-laki kakak kelas, satu kota satu organisasi dengannya. Aktif di organisasi agama, cukup memberi nilai plus baginya dalam hal agama dan kesholehan. Dialah yang selalu memberinya spirit ketika dia hampir putus asa dalam menjalani masa skripsinya yang tak kunjung selesai, padahal teman-temannya telah mendapat izin untuk menjalani sidang. Nuri pun menjadi simpatik dan berniat unrtuk membaktikan hidupnya kepada laki-laki itu jika laki-laki itu memintanya. Namun ternyata Allah berkehendak lain, perasaannya bertepuk sebelah tangan. Ketika ia akhirnya berhasil menjalani sidang skripsi dan hendak menyampaikan kabar gembira itu, hadir sebuah undangan biru dari Iman.

Selasa, 03 November 2009

AKHIRNYA AKU MENIKAH DENGAN LAKI-LAKI PILIHAN ORTUKU

+ “Assalamu’alaikum ya ukhti…..” Sapa sebuah ID di YM ku.
- “Wa’alaikumussalam ya akhi.”
+ “Lagi ngapa ukh?”
- “Nyantai saja nieh, kalo tidak santai mana mungkin OL
+ ‘Hehe, na’am.”
- Sedang sibuk apa sekarang akh?
+ “Ini sedang sibuk mengerjakan thesis. Mohon doanya ukh ana bisa segera menyelesaikannya, agar saya bisa segera datang menemui ortu ukhti untuk meminang ukhti.”
- “Amin akh, selalu.”
Wajahku merah marun, malu bercampur bahagia mendapat pesan dari laki-laki yang hampir satu tahun ini senantiasa menemaniku mengobrol di YM di waktu-waktu kosongnya itu. Laki-laki idaman muslimah. Ainur, Laki-laki yang ah, begitu aku kagumi dan aku dambakan sebagai pendamping hidupku. Pemuda Indonesia yang sedang menimba ilmu di Sebuah Universitas di Mesir.

Selasa, 22 September 2009

MAWAR


Mawar harum puspitasari itu nama lengkapnya. Nama yang indah sesuai dengan parasnya yang cantik, postur tubuh langsing semampai, kulit putih yang tampak alami, penampilannya yang selalu tertata rapi, kerudung yang selalu ditata seindah mungkin dengan dibentuk model-model seperti di majalah, sangat menarik pandangan mata.
Dulu, awal aku kenal aku sangat mengaguminya. Sebagai gadis cantik dan cerdas ia selalu berpakaian tertutup, hampir selalu pakai rok, jarang pakai celana apalagi pakai celana jeans, dan dia tipe cewek yang tidak terlalu banyak bicara. Wanita seperti itu sangat jarang ada, mungkin 1000 banding 1. Namun semakin aku mengenal kehidupannya, apalagi kemudian aku pindah kos menjadi satu kos dengannya, kekaguman itu semakin surut.

Senin, 14 September 2009

BENARKAH HAFIDZ ITU BINASA KARENA CINTA?


+ Wek, sapaku di yahoo messenger, ketika kudapati ID sahabatku itu menyala kuning dan tersenyum, menunjukkan kalo dia lagi OL
+ Asslmkum
- Wa’alaikumussalam
+Oh ya lanjut pembicaraan kemarin, jadi di sini tuh banyak pondok pesantren. Dari pengamatanku….. bla bla bla aq bercerita, namun dari lawanku hanya jawaban ‘hm´ saja yang kudapat.
+ Hey, touyulz, kamu nyimak ga se? tulisku jengkel, tapi bukan marah, kami biasa ngomong gitu.
- Hey, bicara macam apa kamu? Seperti anak jalanan saja, omngan org yg ga berpendidikan, ga pantas seorang sarjana berbicara seperti itu, apalagi antum seorang muslimah
Daggggggggggggggggggggg..............!!!!!!!!!!!
 

Followers

Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template Vector by DaPino